Saat ini DPR RI sedang membahas Rancangan Undang-Undang Hak Cipta untuk menggantikan Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Undang-Undang Hak Cipta yang lama dinilai sudah tidak bisa lagi menampung kebutuhan kekinian hak cipta dari para pemilik ciptaan. Selain itu, juga sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat nasional maupun internasional.
Perlindungan hak cipta dalam RUU ini tidak saja untuk industri musik, tapi juga menjangkau industri seni kreatif lainnya seperti para pemahat dan pematung. Sebab, hak cipta merupakan hak kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh berbagai etnik, suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.
Dalam rangka mendapatkan masukan dan mengakomodasi aspirasi dari pelbagai kalangan/pihak terkait, Panitia Khusus RUU Hak Cipta pun melakukan serangkaian Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di sejumlah daerah. Rapat tersebut dihadiri pimpinan dan anggota Pansus, Dirjen HKI, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, kepolisian daerah, dinas pariwisata, dinas kebudayaan, akademisi, musisi, dan seniman.
Sebagai salah satu pihak yang terkait dengan RUU Hak Cipta, Asosiasi Pengusaha Rumah Bernyanyi Keluarga Indonesia (APERKI) telah tiga kali diundang untuk menghadiri RDPU yang dilaksanakan di Yogyakarta, Jakarta dan Bali. Dalam tiga kali rapat tersebut, APERKI aktif menyampaikan pandangan dan masukan terhadap isi draf RUU Hak Cipta. APERKI ingin aspirasi dan kepentingan para pengusaha rumah bernyanyi keluarga juga dapat ditampung dalam RUU Hak Cipta, sebagaimana kepentingan pihak terkait yang lain. Sebab pengusaha/ usaha rumah bernyanyi keluarga sebagai pengguna ciptaan memiliki keterkaitan dengan RUU ini.
Ada beberapa hal yang disampaikan Sekretaris Jenderal, Seksi Hukum dan Seksi Hubungan Masyarakat APERKI kepada Pansus RUU Hak Cipta dalam RDPU di antaranya, pertama, APERKI melihat bahwa perlindungan hak cipta yang ada saat ini bersifat sangat offensive khususnya kepada para pengusaha karaoke. Pandangan ini merujuk kepada bagian Ketentuan Pidana UU Hak Cipta yang saat ini memakai delik biasa. Delik biasa disini yang memiliki arti bebas semua tindak pidana yang terjadi yang tidak bisa dihentikan prosesnya dengan alasan yang bisa dimaklumi seakan-akan sudah memposisikan para pengusaha karaoke sama dengan pencuri!. Kami berharap di dalam Undang-Undang Hak Cipta yang baru nantinya dapat melindungi setiap pihak, termasuk usaha rumah bernyanyi keluarga/ karaoke keluarga.
Kedua, APERKI mengusulkan agar semua pencipta diwajibkan menjadi anggota salah satu Collective Management Organization (CMO) untuk dapat memperoleh hak ekonominya (royalti) ataupun bagi pencipta yang belum terdaftar pada CMO tidak dapat serta merta melaporkan pihak pengguna kepada pihak kepolisian atas tindakan pencurian hak cipta, tetapi pencipta tersebut cukup mendaftarkan diri sebagai anggota pada salah satu CMO dan kemudian akan mendapatkan royalti yang tertunda (yaitu royalti yang telah dibayarkan oleh user (pengguna) kepada CMO berdasarkan database penggunaan lagu di tempat usaha). Hal itu untuk memudahkan pengutipan royalti melalui lembaga pengutip royalti bukan perorangan karena jumlah pencipta sangat banyak.
Ketiga, APERKI menilai draf RUU Hak Cipta memang jauh lebih maju dibandingkan dengan UU Hak Cipta No 19 Tahun 2002. Namun demikian, RUU ini masih belum mengakomodasi aspirasi dan kepentingan para pengguna seperti pengusaha rumah bernyanyi keluarga, pengusaha radio, pengusaha televisi, pengusaha mall, bandara, dan pengusaha hiburan. Karena itu, APERKI meminta agar pengesahan RUU Hak Cipta ditunda karena masih belum menampung aspirasi dari pihak-pihak yang terkait dengan hak cipta. Apabila dipaksakan untuk segera disahkan maka dikhawatirkan masa berlaku undang-undang tidak akan lama karena banyak kekurangan sehingga direvisi lagi.
Sebagaimana diketahui bahwa UU Hak Cipta sebagai bagian dari serial undang-undang yang terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual merupakan undang-undang yang cukup sering direvisi. UU Hak Cipta telah mengalami tiga kali revisi yaitu tahun 1982, tahun 1987 dan tahun 2002. Dan saat ini merupakan revisi yang keempat kalinya.
APERKI akan memberikan masukan-masukan secara tertulis dengan menyusun draf sandingan RUU Hak Ciptayangkini tengah dibahas oleh kami bersama para pakar hak cipta. Draf sandingan akan diserahkan kepada Pansus untuk dapat diakomodir dalam RUU Hak Cipta.
Keempat, Pansus agar memperhatikan Pasal 5 dan Pasal 111 RUU Hak Cipta. APERKI melihat akan adanya tumpang tindih pada kata-kata “menghilangkan” tetapi disatu sisi “tetap mencamtumkan”. Apakah pihak yang tetap mencantumkan nama suatu pencipta dianggap melanggar? Padahal pencantuman tersebut adalah merupakah bentuk apresiasi (hak moral) bagi pencipta.
Kelima, terkait dengan Pasal 96, APERKI menyarankan agar pihak Pansus untuk lebih menspesifikasi apa yang dimaksud dengan arbitrase. APERKI menyarankan agar penyebutan arbitrase harus langsung mengarah kepada Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI) agar disatu sisi para pihak dalam melirik langsung arbitrase apa yang dimaksud.Keenam, terkait Pasal 105, APERKI menyarankan lebih baik apabila ketentuan pidana dijadikan sebagai “ultimum remidium” yang artinya ketentuan pidana hanyalah dipakai sebagai upaya terakhir yang dipakai oleh pencipta di dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
APERKI juga menyarankan apabila terjadi suatu permasalahan khususnya dalam bidang perjanjian lisensi adalah masuk kepada perkara perdata terlebih dahulu (baik melalui lembaga peradilan atau alternatif penyelesaian sengketa [mediasi atau arbitrase]), baru kepada masalah perizinan, lalu apabila tidak berhasil seluruhnya barulah pencipta masuk kepada penyelesaian secara pidana.
Tinggalkan Balasan