ASOSIASI Pengusaha Rumah Bernyanyi Keluarga Indonesia (APERKI) telah memberikan tanggapan dan masukan secara tertulis terhadap Rancangan Undang-Undang Hak Cipta kepada Panitia Khusus (Pansus) di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (12/06/2014). Penyerahan tanggapan APERKI kepada Pansus RUU Hak Cipta disampaikan Ketua Dewan Pengawas APERKI Inul Daratista. Penyerahan tanggapan tertulis APERKI disambut positif Pansus RUU Hak Cipta.
Tanggapan tertulis ini merupakan tindaklanjut dari penyampaian aspirasi yang dilakukan APERKI setelah mengikuti tiga kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Yogyakarta, Jakarta dan Bali. Tanggapan disusun setelah Dewan Pengurus dan Dewan Pengawas APERKI berdiskusi dan membahasnya dengan salah satu ahli/ pakar hak cipta.
Tanggapan pertama terkait pengertian hak cipta dalam Pasal 1, APERKI mengusulkan agar kembali pada pengertian hak cipta dalam UU Hak Cipta No 19 Tahun 2002. Tanggapan kedua terkait penjelasan ayat 2 Pasal 9, pelaksanaan hak ekonomi tidak memerlukan izin terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta apabila menyangkut penggunaan ciptaan lagu dan musik bagi pelaku pertunjukan, lembaga penyiaran dan rumah bernyanyi (karaoke) dengan adanya sistem imbalan yang dikumpulkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif.
Perlunya izin bagi pelaku pertunjukan, lembaga penyiaran dan rumah bernyanyi (karaoke) untuk meminta izin terlebih dahulu sebelum penggunaan lagu dan musik sebagai ciptaan adalah tidak dimungkinkan secara pelaksanan dalam industri hiburan, penyiaran dan rumah bernyanyi (karaoke). Untuk mempermudah penguna ciptaan maka diperlukan Lembaga Manajemen Kolektif sebagai perantara antara pencipta dengan penguna ciptaan.
APERKI mengusulkan terkait Hak yang Berkaitan dengan Hak Cipta sebagaimana termaktub dalam Pasal 21 hingga Pasal 31 untuk dirubah seluruhnya. Dalam hal ini agar kembali mengacu kepada UU No 19 Tahun 2002, Pasal 49 yang mengatur tentang Hak Terkait.
Pasal 81 ayat 5 diusulkan dikembalikan kepada UU Hak Cipta No 19 Tahun 2002 Pasal 45 ayat 4. Selain itu, Pasal 48 UU No 19 Tahun 2002 diusulkan tetap ada, namun pembentukannya cukup dengan Keputusan Menteri tanpa melibatkan pegawai pemerintah dalam Dewan HAKI tersebut. Alasannya karena terlalu banyak pencipta, jenis-jenis ciptaan termasuk hak terkait, sehingga apabila masing-masing menagih dengan besaran royalti yang mereka tentukan sendiri ke pengguna maka akan berpotensi sengketa.
Dalam hal terdapat kesulitan disepakatinya besaran royalti antara pemberi dan penerima lisensi, para pihak dapat menggunakan pihak ketiga baik sebagai meditor maupun arbiter atau menyelesaikan melalui Dewan HAKI. APERKI juga mengusulkan Pasal 48 UU No 19 Tahun 2002 tetap ada sebagaimana terdapat dalam praktik hampir di semua negara seperti Korea Copyright Commission, Copyright Tribunal, Copyright Council dan lain-lain. Namun pembentukannya cukup dengan Keputusan Menteri.
Pasal 88 ayat 2 terkait imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif. Menurut APERKI pada prinsipnya penarikan royalti dapat saja dilakukan langsung oleh pencipta, pemegang hak cipta, atau hak yang berkaitan dengan hak cipta. Namun mengingat begitu banyaknya jenis-jenis hak cipta atau pencipta maupun hak yang berkaitan maka penarikan royalti secara langsung menjadi tidak praktis. Oleh sebab itu, penarikan royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif akan sangat membantu dalam manajemen penarikan royalti.
Dalam Pasal 88 ayat 4 diusulkan sebaiknya dihapus. Alasannya karena pengulangan Pasal 88 ayat 1. Karena dengan adanya hak dari pencipta, pemegang hak cipta atau hak terkait pada Pasal 88 ayat 1, maka setiap penggunan untuk tujuan komersial oleh pengguna ciptaan otomatis harus membayar royalti.
APERKI juga mengusulkan Pasal 90, semua pasal yang mengatur mengenai Sentra Lembaga Manajemen Kolektif untuk dihapus. Alasannya ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E dimana setiap orang bebas berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan para pencipta untuk berserikat dan berkumpul menurut kepentingannya sendiri telah dibatasi oleh RUU HC ini. Selain itu, ketentuan tersebut juga bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persangan Usaha Yang Tidak Sehat.
Pasal 92 sebaiknya dihapus. Pengaturan mengenai Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) diusulkan diatur di dalam Peraturan Pemerintah. Penggunaan atau pemotongan dana oleh LMK harus dilihat dari kebutuhan yang wajar sebagai suatu lembaga yang melakukan pengumpulan royalti dengan melihat praktik di negara-negara lain. Terkait Pasal 105, APERKI mengusulkan hak untuk mengajukan gugatan keperdataan hanya dapat dilakukakn melalui Pengadilan Niaga dan menghapus hak pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak yang berkaitan dengan hak cipta untuk melaporkan secara pidana atas pelanggaran hak cipta. Menurut APERKI pengguna ciptaan yang beritikad baik dengan menyelesaikan sengketa melalui jalur perdata ke Pengadilan Niaga, tidak dapat dikenakan tindak pidana. Alasannya karena tindak pidana ini berdasarkan delik aduan. Ketiadaan pidana tersebut bukan hal yang baru, hal ini berlaku juga pada PKPU dan kepailitan di Pengadilan Niaga.
Tinggalkan Balasan